Uang kripto atau cryptocurrency belakangan menjadi ramai diperbincangkkan warganet. Cryptocurrency sendiri berasal dari dua kata, yakni cryptography yang berarti kode rahasia dan currency yang artinya mata uang. Dengan kata lain, uang kripto adalah mata uang virtual yang dilindungi kode rahasia.
Dalam beberapa tahun terakhir, mata uang kripto atau cryptocurrency mengalami peningkatan popularitas di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), hingga akhir Mei 2021, jumlah investor aset cryptocurrency mencapai 6,5 juta orang. Jumlah tersebut meningkat lebih dari 50 persen bila dibandingkan dengan tahun 2020 yang sebanyak 4 juta orang.
Secara resmi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan penggunaan cryptocurrency atau mata uang kripto sebagai mata uang. Perlu digarisbawahi, haram disini bukan pada jenis mata uangnya, tetapi mengenai penggunaan mata uang kripto sebagai alat transaksi jual beli.
Fatwa hukum kripto tersebut disahkan dalam Forum Ijtima Ulama se-Indonesia ke-VII. Terkait hukum cryptocurrency dari musyawarah yang sudah ditetapkan ada tiga diktum hukum, yaitu:
1. Penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh. Disebut haram karena mengandung gharar dan dharar, serta bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015.
UU Nomor 7 Tahun 2011 sendiri mengatur tentang mata uang. Di dalam aturan tersebut dijelaskan, alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah uang rupiah. Sehingga, aset kripto bukanlah alat pembayaran.
Di Indonesia, aset kripto sebenarnya lebih banyak dikenal sebagai mata uang kripto. Namun demikian, karena tak bisa/belum digunakan sebagai alat transaksi di Indonesia, regulator pun menggunakan istilah aset kripto, bukan mata uang kripto.
Sebagai komoditas, tentu saja aset kripto, seperti Bitcoin, Ethereum, Dogecoin, atau yang lainnya, tidak bisa diberlakukan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Artinya, masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan jual beli dengan aset kripto sebagai nilai tukar.
2. Cryptocurrency sebagai komoditas aset digital tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, dan qimar.
"Serta tidak memenuhi sil'ah secara syar-i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli," kata Niam.
3. Untuk jenis kripto sebagai komoditas atau aset yang memenuhi syarat sebagai sil'ah dan memiliki underlying, serta memiliki manfaat yang jelas, sah untuk diperjualbelikan.